Unsur-unsur yang membangun manusia Sebenarnya ada banyak sekali unsur-unsur yang membangun manusia, namun dari sekian banyak unsur-unsur itu, di sederhanakan menjadi 2 klasifikasi. yaitu unsur jasmani dan unsur rohani. Ada dua pandangan tentang unsur-unsur yang membangun manusia 1. Manusia itu terdiri atas empat unsur yang saling berkaitan a. Jasad, yaitu badan kasar manusia yang nampak, dapat diliat, dapat difoto, dapat dilihat dan menempati ruang dan waktu b. Hayat, yaitu mengandung unsur hidup yang ditandai dengan gerak c. Ruh, yaitu bimbingan dan pimpinan Tuhan, daya yang bekerja secara spiritual dan memahami kebenaran d. Nafs, dalam pengertian diri atau keakuan yaitu kesadaran akan diri sendiri 2. Manusia Sebagai Satu Kepribadian Mengandung Tiga Unsur : a. Id yang merupakan struktur kepribadian yang paling primitif dan paling tidak tampak. Id merupakan libido murni atau energi psikis yang menunjukkan ciri alami yang irrasional dan terkait dengan sex. 2. Ego merupakan bagian atau struktur kepribadian yang pertama kali dibedakan dari Id, berperan menghubungkan energi Id ke dalam saluran sosial yang dapat dimengerti oleh orang lain. Perkembangan ego terjadi antara usia satu dan udua tahun. 3. Superego merupakan struktur kepribadian yang paling akhir, muncul kira-kira pada usia lima tahun. Dibandingkan dengan id dan ego, superego yang berkembang secara internal dalam diri individu, superego terbentuk dari lingkungan eksternal. Hakikat manusia: Manusia adalah mahluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah SWT. Kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan tugas mereka sebagai khalifah dimuka bumi ini. Al-Quran menerangkan bahwa manusia berasal tanah dengan mempergunakan bermacam-macam istilah, seperti : Turab, Thien, Shal-shal, dan Sualalah.
Hal ini dapat diartikan bahwa jasad manusia diciptakan Allah dari bermacam-macam unsur kimiawi yang terdapat dari tanah. Adapun tahapan-tahapan dalam proses selanjutnya, Al-Quran tidak menjelaskan secara rinci. Akan tetapi hampir sebagian besar para ilmuwan berpendapat membantah bahwa manusia berawal dari sebuah evolusi dari seekor binatang sejenis kera, konsep-konsep tersebut hanya berkaitan dengan bidang studi biologi. Anggapan ini tentu sangat keliru sebab teori ini ternyata lebih dari sekadar konsep biologi. Teori evolusi telah menjadi pondasi sebuah filsafat yang menyesatkan sebagian besar manusia. Dalam hal ini membuat kita para manusia kehilangan harkat dan martabat kita yang diciptakan sebagai mahluk yang sempurna dan paling mulia. Walaupun manusia berasal dari materi alam dan dari kehidupan yang terdapat di dalamnya, tetapi manusia berbeda dengan makhluk lainnya dengan perbedaan yang sangat besar karena adanya karunia Allah yang diberikan kepadanya yaitu akal dan pemahaman. Itulah sebab dari adanya penundukkan semua yang ada di alam ini untuk manusia, sebagai rahmat dan karunia dari Allah SWT. {“Allah telah menundukkan bagi kalian apa-apa yang ada di langit dan di bumi semuanya.”}(Q. S. Al-Jatsiyah: 13). {“Allah telah menundukkan bagi kalian matahari dan bulan yang terus menerus beredar. Dia juga telah menundukkan bagi kalian malam dan siang.”}(Q. S. Ibrahim: 33). {“Allah telah menundukkan bahtera bagi kalian agar dapat berlayar di lautan atas kehendak-Nya.”}(Q. S. Ibrahim: 32), dan ayat lainnya yang menjelaskan apa yang telah Allah karuniakan kepada manusia berupa nikmat akal dan pemahaman serta derivat (turunan) dari apa-apa yang telah Allah tundukkan bagi manusia itu sehingga mereka dapat memanfaatkannya sesuai dengan keinginan mereka, dengan berbagai cara yang mampu mereka lakukan. Kedudukan akal dalam Islam adalah merupakan suatu kelebihan yang diberikan Allah kepada manusia dibanding dengan makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dengannya, manusia dapat membuat hal-hal yang dapat mempermudah urusan mereka di dunia. Namun, segala yang dimiliki manusia tentu ada keterbatasan-keterbatasan sehingga ada pagar-pagar yang tidak boleh dilewati. Dengan demikian, manusia adalah makhluk hidup. Di dalam diri manusia terdapat apa-apa yang terdapat di dalam makhluk hidup lainnya yang bersifat khsusus. Dia berkembang, bertambah besar, makan, istirahat, melahirkan dan berkembang biak, menjaga dan dapat membela dirinya, merasakan kekurangan dan membutuhkan yang lain sehingga berupaya untuk memenuhinya. Dia memiliki rasa kasih sayang dan cinta, Perbedaan manusia dengan manusia lain: Semua gerak tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia, didorong oleh rasa hidup dengan maksud yang sama, yakni supaya berlangsung hidupnya dan jenisnya. Tetapi cara manusia bergerak untuk mencukupi kebutuhan hidupnya berbeda dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan. Cara bergerak tumbuh-tumbuhan dan hewan berlangsung tanpa pengertian, karena mereka tidak memiliki pikiran. Sedangkan cara bergerak manusia berlandaskan pengertian, sebab manusia memiliki pikiran. Jadi perbedaan antara manusia dan benda hidup yang bukan manusia, hanya terletak pada kenyataan, bahwa yang satu mempunyai pikiran, sedang yang lain tidak mempunyainya Kepribadian bangsa timur Kebudayaan Bangsa Timur Manusia mendiami wilayah yang berbeda, berada di lingkungan yang berbeda juga. Hal ini membuat kebiasaan, adat istiadat, kebudayaan dan kepribadian setiap manusia suatu wilayah berbeda dengan yang lainnya. Namun secara garis besar terdapat tiga pembagian wilayah, yaitu : Barat, Timur Tengah, dan Timur.Kita di Indonesia termasuk ke dalam bangsa Timur, yang dikenal sebagai bangsa yang berkepribadian baik. Bangsa Timur dikenal dunia sebagai bangsa yang ramah dan bersahabat. Orang – orang dari wilayah lain sangat suka dengan kepribadian bangsa Timur yang tidak individualistis dan saling tolong menolong satu sama lain. Meskipun begitu, kebanyakan bangsa Timur masih tertinggal oleh bangsa Barat dan Timur Tengah Kepribadian bangsa timur dapat diartikan suatu sikap yang dimiliki oleh suatu negara yang menentukan penyesuaian dirinya terhadap lingkungan. Kepribadian bangsa timur pada umumnya merupakan kepribadian yang mempunyai sifat toleransi yang tinggi. Kepribadian bangsa timur, kita tinggal di Indonesia termasuk ke dalam bangsa timur, dikenal sebagai bangsa yang berkepribadian baik. Di dunia bangsa timur dikenal sebagai bangsa yang ramah dan bersahabat. Bercerita tentang kepribadian bangsa timur, saya jadi teringat oleh Indonesia. Indonesia memiliki beragam budaya, suku dan adat istiadat. Indonesia termasuk dalam bagian negara-negara yang ada dalam posisi benua asia memiliki adat yang disebut adat ketimuran. Indonesia yang tergabung dari berbagai suku dan terkenal dengan keramahtamahan masyarakatnya dan tingginya rasa saling menghormati antar sesama. Indonesia sangat berbeda dengan negara-negara barat, karena pandangan hidup dan kebiasaan masyarakatnya yang berbeda. Dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia yang memiliki adat ketimuran, rasa toleransi, ramah, sopan santun, saling menghargai dan gotong royong selalu menjadi dasar hidup masyarakat Indonesia. Bangsa timur identik dengan benua asia yang penduduknya sebagian besar berambut hitam, berkulit sawo matang dan adapula yang berkulit putih, bermata sipit. Sebagian besar cara berpakaian orang timur lebih sopan dan tertutup mungkin karena orang timur kebanyakan memeluk agama islam dan menjunjung tinggi norma-norma yang berlaku. Namun di zaman yang sekarang ini orang timur kebanyakan meniru kebiasaan orang barat. Kebiasaan orang barat yang tidak sesuai atau bertentangan dengan kebiasaan orang timur dapat memengaruhi kejiwaan orang timur itu sendiri. Pengertian kebudayaan Kebudayaan, kesenian, bukum, adat istihadat dan setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota suatu masyarakat. Misalnya: dari alat-alat yang paling sederhana seperti asesoris perhiasan tangan, leher dan telinga, alat rumah tangga, pakaian, system computer, non materil adalah unsur-unsur yang dimaksudkan dalam konsep norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan / keyakinan serta bahasa. Para kebudayaan sering mengartikan norma sebagai tingkah laku rata-rata, tingkah laku khusus atau yang selalu dilakukan berulang – ulang. Kehidupan manusia sellau ditandai oleh norma sebagai aturan sosial untuk mematok perilaku manusia yang berkaitan dengan kebaikan bertingkah lak, tingkah laku rata-rata atau tingkah laku yang diabstaksikan. Oleh karena itu dalam setiap kebudayaan dikenal norma-norma yang ideal dan norma-norma yang kurang ideal atau norma rata-rata. Norma ideal sangat penting untuk menjelaskan dan memahami tingkah laku tertentu manusia, dan ide tentang norma-norma tersebut sangat mempengaruhi sebagian besar perilaku sosial termasuk perlaku komunikasi manusia. Nilai adalah konsep-konsep abstrak yang dimiliki oleh setiap individu tentang apa yang dianggap baik atau buruk, benar atau salah, patut atau tidak patut. Unsur penting kebudayaan berikutnya adalah kepercayaan / keyakinan yang merupakan konsep manusia tentang segala sesuatu di sekelilingnya. Jadi kepercayaan / keyakinan itu menyangkut gagasan manusa tentang individu, orang lain, serta semua aspek yang berkaitan dengan biologi, fisik, sosial, dan dunia supernatural. Unsure penting kebudayaan adalah bahasa, yakni system kodifikasi kode dan symbol baik verbal maupun non verbal, demi keperluan komunikasi manusia. Definisi kebudayaan di atas seolah bergerak dari suatu kontinum nilai kepercayaan kepada perasaan dan perilaku tertentu. Perilaku tertentu. Perilaku tersebut merupakan model perilaku yang diakui dan diterima oleh pendukung kebudayaan sehingga perilaku itu mewakili norma-norma budaya. Unsur-unsur kebudayaan Ketika kita melakukan kunjungan ke luar daerah, ke luar kota, bahkan sampai ke luar negeri, kita akan selalu menemukan tujuh aspek budaya dalam masyarakat yang kita kunjungi tersebut, yaitu: Ketujuh hal ini, oleh Clyde Kluckhohn dalam bukunya yang berjudul Universal Catagories of Culture (dalam Gazalba, 1989: 10), disebut sebagai tujuh unsur kebudayaan yang bersifat universal (cultural universals). Artinya, ketujuh unsur ini akan selalu kita temukan dalam setiap kebudayaan atau masyarakat di dunia. Unsur-unsur ini merupakan perwujudan usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup dan memelihara eksistensi diri dan kelompoknya. Cultural Activity Untuk kepentingan ilmiah dan memudahkan identifikasi, para sarjana membagi ketujuh unsur kebudayaan universal tersebut ke alam unsur-unsur kebudayaan yang lebih kecil. Ralph Linton misalnya, ia membagi cultural universal tersebut ke dalam sub-sub tertentu yang disebut cultural activity atau kegiatan budaya. Pada sistem bahasa, kegiatan budayanya mencakup bahasa lisan dan tulisan. Pada sistem peralatan hidup dan teknologi—baik modern maupun tradisional, tercakup alat-alat rumah tangga, perumahan, senjata, teknologi komunikasi, dan banyak lagi. Pada sistem ekonomi dan mata pencaharian hidup, kegiatan budayanya mencakup pertanian, peternakan, sistem produksi, perbankan, dan sebagainya. Pada sistem kemasyarakatan, kegiatan budayanya meliputi tata kekerabatan, organisasi kemasyarakatan, organisasi politik, tata hukum, perkawinan, dan lainnya. Pada sistem kesenian, bagian-bagian kecil semacam seni tari, seni musik, seni suara, seni pahat, dan seni lukis, termasuk ke dalam kegiatan budayanya. Adapun pada sistem keagamaan, kegiatan budayanya mencakup ritual ibadah, kitab suci, dan lainnya. Traits Compleks Selanjutnya, kegiatan-kegiatan budaya dipecah-pecah lagi ke dalam bagian yang lebih kecil yang disebut traits complex. Misalnya, kegiatan yang terkait bahasa tulisan—sebagai bagian dari bahasa—meliputi penerbitan buku, media cetak atau surat kabar, internet, dan sebagainya. Traits compleks berupa surat kabar dapat dipecah-pecah lagi ke dalam bagian lebih kecil yang disebut traits, seperti koran, majalah, buletin, majalah dinding, jurnal, newsletter, dan sebagainya. Traits ini pada kenyataannya terbagi lagi menjadi item, sebagai unsur kebudayaan terkecil. Kita ambil majalah sebagai contoh. Majalah terdiri dari bagian-bagian lebih kecil yang bergabung menjadi sebuah kesatuan, semisal cover, rubrik, iklan, reportase, wawancara, layout, dan sebagainya. Walaupun demikian, setiap unsur dari majalah tersebut dapat dilepaskan dari kesatuan tersebut. Apabila satu atau beberapa unsur majalah dilepaskan, fungsi majalah sebagai media komunikasi tidak dapat berfungsi secara optimal. Pada hakikatnya, setiap unsur kebudayaan yang kehilangan nilai kegunaan, unsur kebudayaan tersebut perlahan-lahan akan hilang. Dengan demikian, setiap unsur kebudayaan senantiasa memiliki kegunaan dan manfaat tertentu dalam kebudayaan secara keseluruhan. Selain itu, dengan adanya pembagian semacam ini, semakin nyata di hadapan kita bahwa kebudayaan meliputi seluruh segi kehidupan manusia. Ia mencakup ruang dan waktu yang sangat luas; mulai dari rumah sampai negara; berlangsung sejak lahir sampai mati. Kebudayaan Minangkabau dalam Keragaman Budaya Nusantara Dari pengamatan dalam fenomena yang berkembang saat ini kita seakan-akan sekadar memiliki kebanggaan sekunder sebagai individu yang kebetulan dilahirkan dalam komunitas suku bangsa Minangkabau. Kebanggaan sekunder yang dimaksud adalah kebanggaan-kebanggaan pengakuan sosial dan kesejarahan Minangkabau atau terhadap keberhasilan masa lalu yang berkaca terhadap tokoh-tokoh yang mewarnai dan mempengaruhi sejarah, politik, kehidupan sosial masyarakat di republik ini. Kebanggaan sekunder ini dalam realita ditengah masyarakat Minangkabau sendiri, di mana dalam kekinian mulai terombing-ambing, baik secara prinsip, paradigma, dan nilai-nilai. Eksistensi kebudayaan tidak akan mungkin kita temukan jika kita belum memiliki persepsi yang tentang kebudayaan Minangkabau. Ada sarjana yang mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari majemuk budi daya yang berarti “daya dari budi”. Oleh karena itu mereka membedakan budaya dengan kebudayaan – menurut mereka, daya dari budi adalah cipta, karsa dan rasa. Sementara itu kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa tersebut. Namun menurut pendapat Koentjaraningrat dalam bukunya Ilmu Antropologi dalam istilah antropologi budaya, perbedaan itu ditiadakan. Kata budaya hanya dipakai sebagai singkatan saja dari kebudayaan, dengan arti yang sama. Di samping itu kita pun mengenal kata culture, yang merupakan kata asing, yang pengertiannya sama dengan kebudayaan – berasal dari bahasa latin “colere” yang diartikan mengolah dan mengerjakan. Kegamangan Bagi orang Minangkabau yang tinggal di rantau, terutama anak muda – memang sangat mengusik dan menggelitik untuk “dimasuki”, baik dari segi filsafat atau lebih kental dengan istilah Adat, maupun secara emosional sebagai bagian kepeduliannya terhadap ranah Minang ini- Mereka mempertanyakan relevansi Adat Minangkabau, di sampng kerinduannya untuk pulang ke kampung halaman. Kita di daerah harus mengakui bahwa perantau yang diperkirakan berjumlah sekitar 8 (delapan) juta orang, kebanyakan telah mengecap pendidikan tinggi dan banyak mengenal dunia luar. Dan cara kepedulian itu, dari sudut pandangnya yang berbeda – menggugat norma-norma adat dan penerapannya dalam kehidupan nyata kurun kekinian- Gugatan ini muncul karena mereka banyak belajar tentang sains, teknologi dan ilmu sosial lainnya. Ketika mereka pulang ke kampung halamannya dengan acara pulang basamo, mereka tidak mendapat jawaban apa-apa tentang relevansi Adat Minangkabau dengan kehidupan kini dan mendatang. Realitasnya kita melihat dan mendengar pepatah-petitih yang senantiasa disampaikan dalam acara seremonial. Tapi tidak ada imbas dan prakteknya dalam kehidupan sehari-hari, bahkan pemangku Adat sendiri gamang memberikan contoh tauladan kepada anak kemenakannya. Kita beri contoh dengan pepatah yang mengatakan “Nan kuriek iyolah kundi, nan merah iyolah sago- Nan baik budi, nan elok bahaso” (Yang kurik ialah kundi, yang merah ialah sago, yang baik budi- yang indah bahasa) Namun dalam kehidupan nyata, banyak orang di daerah ini tampak tak ramah, apalagi bertutur bahasa yang baik. Padahal pepatah itu mengandung ajaran Adat untuk mendidik masyarakatnya berbudi pekerti yang luhur. Kalau demikian, maka relevanlah mereka prihatin dan bergesernya pandangan terhadap nilai-nilai budaya Minangkabau yang mereka yakini sebelumnya sebagai budaya yang tinggi. Sementara itu kebanyakan pemangku Adat hanya bisa melantunkan pepatah-petitih, padahal mereka sendiri pun tidak mampu menjelaskan apa yang tersirat dari pepatah tersebut. Apalagi mencari yang tersuruk dari filosofi pandangan hidup orang Minangkabau. Sebab mereka hanya penghapal-penghapal yang baik dari pepatah, mamangan bidal dan pantun. Hendaknya hal ini perlu disadari secara jujur oleh mereka yang menyandang kebesaran Adat. Dan bagi mereka yang berada di rantau, jika kembali ke kampung halamannya, perlu menyediakan waktu agak panjang menetap di ranah ini agar sudut pandangnya lebih luas. Bukan sekadar melihat dari ketinggian menara gading, sehingga muncul pemikiran-pemikiran bernas dan menambah darah segar bagi budaya Minangkabau. Sebenarnya bukan mereka yang dirantau saja gamang dan bingung melihat fenomena budaya Minangkabau (Adat) dengan aplikasi kehidupan nyata. Bagi mereka yang berada dan menetap di ranah ini gamang akan realita Aadat itu sendiri. Dan yang lebih parah lagi adalah generasi muda yang merupakan penerima waris nilai-nilai yang sedang kita bicarakan ini. Dalam perjalanan waktu, ada upaya yang dilakukan oleh instansi formal (pemerintah) untuk menggerakan pembelajaran Adat Minangkabau, yakni dengan menerbitkan buku-buku BAM (Budaya Alam Minangkabau). Namun gagasan besar ini tidak didukung dan tidak melibatkan mereka yang bergelimang pada kebudayaan bersangkutan. Sehingga buku-buku yang disuguhkan kepada siswa mau pun mahasiswa, akhirnya menambah panjang daftar pertanyaan selingkar norma-norma Adat, dan relevansi dengan kehidupan kini dan mendatang. Di samping itu pengajarnya belum mengerti dan memahami Adat Minangkabau, karena mereka disiapkan secara tergesa-gesa dan instans. Prinsip dan nilai-nilai Panakiek pisau sirawiek, ambiak galah batang limbatuang, silodang ambiak ka niru, nan satitiak jadikan lawiek nan sakapa jadikan gunuang, alam takambang jadi guru. (Penakik pisau siraut, ambil galah batang limbatung, silodang ambil untuk niru, yang setitik jadikan laut, yang sekepal jadi gunung, alam terkembang jadi guru) Makna yang terkandung dalam pepatah ini, agar manusia selalu berupaya untuk meningkatkan wawasannya dengan membaca, merenungkan, memahami alam terkembang sehingga dia dapat mengambil intisari ajaran alam tersebut. Merupakan ketentuan dalam filsafat alam yang dianut oleh orang Minangkabau – alam yang terbentang dipelajari dengan seksama, menjadi sumber dan bahan pengetahuan yang dapat diterapkan dalam pergaulan kehidupan bermasyarakat – Suku bangsa Minangkabau menjadikan alam sebagai guru sebelum Islam masuk ke negeri ini. Ketika itu mereka mengenal alam sebatas pandangannya, apa yang dilihat dan dirasakannya. Kemudian setelah Islam menjadi anutan mereka, maka mulai mengenal alam hakekat. Seumpama ketentuan laut berombak, gunung berkabut, jeram berair, air menyuburkan, api membakar, batu dan besi keras, kelapa bermata, bambu beruas, pohon bertunas, ayam berkokok, murai berkicau, elang melengking nyaring, warna hitam, putih, merah dan seterusnya. Ilmuwan berpendapat pada umumnya ada tiga corak dan derajat sumber ilmu pengetahuan di dunia ini yang dipelajari manusia. Sumber ilmu pengetahuan yang tertinggi adalah firman-firman Tuhan, yang datang lewat wahyu yang diturunkan kepada Rasul-rasul-Nya – pengikutnya mempelajari lewat kitab-kitab suci – Sedangkan Islam mempelajari ilmu pengetahuan dengan sumber al-Quran dan Sunnah. Sementara itu alam semesta merupakan sumber pengetahuan yang kedua – dalam al-Quran acapkali ditemui ayat-ayat agar manusia melihat alam semesta yang diciptakan sang Khalik. Berikutnya derajat ketiga adalah renungan dari pemikiran-pemikiran yang kemudian dikenal dengan filsafat. Orang Minangkabau melahirkan filsafat Alam dengan pepatah-petitih yang digambarkan dengan berbagai corak, yang dnyatakan secara langsung maupun tidak langsung. Filsafat Minangkabau kemudian dikenal sebagai pandangan hidup mereka, yang juga disebut Adat. Eksistensi kebudayaan Minangkabau hakekatnya bersumber dari pemikiran-pemikiran yang dituangkan dalam pepatah-petitih, yang dapat menjawab pertanyaan bersayap dan relevansi Adat dalam kekinian, dan sekaligus menjawab tantangan masa depan. Kenapa kita sering mengeritik budaya yang menjadi milik kita sendiri. Kritik yang datang dari dalam (mereka yang ada di ranah kampung halaman) atau dari rantau, janganlah membuat suku bangsa ini “lari” dari hakekat Adat tersebut. Aadat Minangkabau bukanlah sebatas seremonial tapi berkapasitas prinsip dan norma-norma kehidupan dalam masyarakatnya. Ironisnya, kita tidak mampu membedakan antara prinsip dan nilai-nilai. Menurut penulis, prinsip adalah wilayah, sedangkan nilai-nilai adalah peta. Prinsip kebudayaan Minangkabau yaitu kebenaran, kebenaran itu berhubungan dengan martabat manusia. Menurut ajaran Islam (yang mereka anut) bahwa semua manusia diciptakan sama dan dipelihara oleh sang Pencipta dengan hak-hak tertentu, natara lain hak hidup, kebebasan, dan pencapaian kebahagiaan. Konsep itu pun jadi pemikiran dan ketetapan Adat Minangkabau, yang ujungnya akal budi, dan kemudian diteruskan dengan terciptanya manusia yang beriman dan bertakwa. Dan prinsip bukanlah praktek. Sebab praktek adalah aktivitas atas kegiatan tertentu – yang berhasil pada suatu keadaan, tapi gagal dalam keadaan yang lain, seperti bukti tindakan kebudayaan kita, di mana kita telah berusaha menyemai kebudayaan ini agar kelak berujung pada manusia berakal sekaligus berbudi- Ternyata belum menunjukan hasil seperti ang kita harapkan. Tetapi di sisi lain dalam kenyataan, Adat hanya subur dalam bentuk seremoni. Dan apabila praktek dalam bentuk spesifik menurut situasi, maka prinsip merupakan kebenaran yang hakiki dan fundamental yang memiliki aplikasi universal. Oleh karenanya, prinsip selalu berguna bagi setiap individu, hubungan kekerabatan, lingkungan, keorganisasian – baik pemerintah, mau pun non pemerintah – Tatkala menjadi kebiasaan, kebenaran ini memberikan kekuatan pada orang-orang atau suku bangsa ini untuk menciptakan variasi praktek yang luas dalam menghadapi situasi kekinian dan masa datang. Peluang itu sebenarnya sudah terbuka sejak lama. Hanya saja kita sering lupa akan petuah yang disampaikan lewat mamangan; sakali aia gadang, sakali tapian barubah (sekali air besar, sekali tepian berubah). Jika demikian pandangan kita pada budaya Minangkabau dari statis, harus mengarah ke pemikiran yang dinamis dan positif thinking. Sebagai gambaran untuk kita semua, bahwa suku bangsa Minangkabau ini pernah mengalami kegetiran ketika dijajah suku dan bangsa serta kerajaan lain. Akan tetapi suku bangsa Minangkabau tetap eksis dan teguh dengan prinsip serta nilai-nilai yang mereka anut turun-menurun. Bila terjadi perubahan bukanlah prinsip yang berubah, yang berubah hanyalah seremoni dan nilai yang tidak mendasar. Dalam mamangannya mereka menyebutkan; dicabuik indak mati- diasak indak layu (dicabut tidak mati-dipindahkan tidak layu). Apakah yang tidak mati dan tidak layu itu? Adalah kebenaran dan hukum, alam, sedangkan peraturan-peraturan, peralihan kekuasaan, pergeseran-pergeseran nilai disebut patah tumbuh-hilang berganti. Bila kita menghargai prinsip yang benar, berarti kita memiliki kebenaran suatu pengetahuan segala sesuatu sebagaimana adanya. Nilai bukanlah prinsip. Sekelompok pencuri dapat mempunyai nailai yang sama, namun nilai itu melanggar prinsip dasar yang sedang kita bicarakan. Nilai adalah peta. Andaikata seseorang asing masuk ke sebuah kota, tentulah dia memiliki atau menyediakan sebuah peta agar tidak tersesat. Umpamanya anda ingin ke Bukittinggi dari kota Padang, pastilah anda mempersiapkan peta kota Bukittinggi. Dari Padang anda harus menuju jalan raya arah ke utara. Namun anda memiliki peta yang salah cetak di tangan anda – lalu anda menuju ke arah timur, yang sebenarnya menuju Solok- Tentulah dapat dibayangkan betapa stresnya anda dalam perjalanan tersebut. Ternyata anda tidak melihat ngarai sianok, jam gadang, yang anda temukan dalam perjalanan itu “Bukittinggi” pemandangan indah yang lain. Itulah nilai-nilai yang sedang anda pedomani. Akhirul Kalam Ditinjau dari ruang lingkupnya, kebudayaan mempunyai dua corak. Corak yang pertama adalah pengertian kebudayaan dalam arti sempit, yaitu membatasi diri pada masalah-masalah; kesenian, kesusasteraan dan sejenisnya. Dalam hal ini orang mengedepankan hal-hal seperti cerita rakyat, roman, novel, sandiwara, teater, randai, kaba, musik, lenong, wayang orang atau sejenisnya. Sementara itu pengertian kedua dianggap lebih luas cakupannya, karena ia berusaha mencari makna kebudayaan dalam kaitannya dengan berbagai segi kehidupan manusia dan masyarakat. Atau dalam arti tidak hanya terbatas pada kesenian dan kesusasteraan saja. Membicarakan makna hakekat kebudayaan dalam kaitannya dengan berbagai kehidupan manusia dan masyarakat, bukanlah pekerjaan mudah tapi suatu pekerjaan besar karena ia akan melibatkan elemen-elemen kebudayaan dan masyarakat. Seperti saya kemukakan pada sub judul Prinsip dan Nilai-nilai, kita harus memiliki peta yang benar, sehingga kita tidak sesat menelusuri apa yang diwariskan oleh para leluhur. Keburaman eksistensi kebudayaan Minangkabau terlihat sejak sistem sentralistik semakin menguat. Kekuasaan politik antara pemerintah pusat dengan daerah menganga sangat lebar sehingga daerah tak berdaya yang akhirnya berdampak mencecerkan budaya Minangkabau. Sementara itu budaya suku bangsa yang berada di luar Minangkabau (Jawa) lebih terlindungi dan mengapung ke depan dengan berbagai fasilitas. Dalam pada itu kebijaksanaan politik pemerintah pusat lebih banyak menguntung saudara-saudara kita yang berada di luar ranah ini. Umpamanya, media elektronik yaitu televisi dan radio, demikian juga dengan media cetak, surat kabar, penerbitan buku dan sebagainya. Jika kita pandang selintas maka terlihat pendangkalan dan realitas kehidupan kita dalam sekian dasawarsa belakangan ini, sebagian masyarakat, terutama lapisan pemimpin telah kehilangan perasaan terhadap nilai-nilai. Hampir tidak ada perjuangan untuk memperjuangkan nilai-nilai luhur, baik dalam arti mempertahankan nilai-nilai lama mau pun menawarkan nilai baru – nyaris tidak ada perdebatan nasional yang meliputi masyarakat kebudayaan itu sendiri Menurut penulis, kita harus memiliki paradigma yang jelas. Dalam pengertian yang lebih populer, paradigma adalah cara kita melihat dunia, yang bukan berkaitan dengan dunia visual dari tindakan melihat – melainkan dengan persepsi, mengerti dan memahami serta menafsirkan. Dengan persepsi, mengerti, memahami dan menafsirkan maka kita akan mampu mengangkat eksistensi budaya Minangkabau yang selama in ”terkucil” di antara gema budaya suku-suku bangsa lain di tanah air. Oleh: Amran SN sumber:web,blog artikel.dll. |
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar